Sebuah wejangan yang masih terngiang di benakku. Nasehat mujarab yang tersimpan dalam palung hati , “Neng kade ulah betah tapi kudu butuh”, kalimat itu sontak mampu menjadi alarm ketika lelah mulai menyapa dan rasa malas mulai menghinggapi. Sebuah wejangan dari pak Ustadz di kampugku, terakhir ketika akan menginjakkan kaki di penjara suci ini.
Hari ini lelahku, banyak keluh yang ku terus ungkap dengan nada pilu, wajah kecut, kadang air mata tanpa ku izinkan dengan sendirinya ia jatuh. Aku ingin meronta, berteriak tanpa batas, bahkan ingin jeritan ini menembus ruang hampa antariksa. Menembus batas wajar pikirku, suara memelik agar illahi mendengar keluhku. Aku kadang berpikir buntu tentang asaku, harapan yang kugantungkan mungkin terlalu tinggi, over imaji, langkah tak berjejak menjadi muara kecewaku. Bagaimana tidak sekelumit masalah masih terngiang dalam benakku.
“Ibu, bapak maafkan diri ini yang belum bisa sepenuhnya bisa menuruti hak ku sendiri dan hak mu. Hak kalian yang harus bisa mellihatku sukses”. Sebuah mantra dialog hati yang tak kunjung mereda.
Dalam tiga tahun hidup dalam penjara suci, bagiku aku masih saja menjadi pribadi yang usang, berdebu, berpemikiran tak revolusioner. Azam ku dulu, pada diri ini inginkan menjadi pribadi yang berbeda, tegasnya lebih dewasa, maklum banyak doktrin dari saudara sulung ku tak pernah lupa ia menyebutku dengan sebutan anak rewel, tak mandiri dan lain sebagainya yang membuaku hanya terdiam dengan tatapan tajam. Tidak mudah bak membalikkan kedua telapak tangan, tidak mudah bak berjam-jam mengahbiskan waktu ketika nonton drama korea, tak mudah bersikap dewasa, ini transisi yang dipaksakan pikirku. Banyak sekali godaan yang menghampiri. Dalam transisi, pula dengan masalah yang ada. Banyak masalah dan hambatan kadang menjadi jeda dalam juangku.
Bagiku, hidup dipenjara suci bukan melulu mengenai menuntut ilmu, memang tugas pokok bagi santriah selain ta’dim kepada pimpinan pondok juga mengoptimalkan dalm ikhtiarnya mencari ilmu. Ada fokus lain yang menarik, mencuri perhatian pandangku tentang semantik, sense ketulusan dan keseimbangan dalam kecerdasan quantum.
“Bibi” begitu panggilan akrab santriah yang memiliki sikap hangat penuh kesopanan ini, mengapa tidak, sampai saat ini pun aku masih bertanya-tanya tentang dirinya. Beliau adalah Siti Nurlela, perawakannya tidak begitu tinggi, memiliki senyuman yang mengena apabila memandangnya, dengan setengah badan yang ia bungkukakan ketika berhadapan dengan orang lain pertanda begitu hormatnya terhadap orang lain.
Pagi hari itu, Jum’at tepatnya. “Uni, mari kita keluar sejenak, merefresh tubuh dan sekedar menghirup udara segar”. Sambil ku bawa kitab ditangan kananku, kitab kuning begitu sebutannya untuk pesantren salafi, sambil menoleh selepas mengaji subuh, ternyata sebuah ajakan dari roisah pesantren ini. “Siap Bi, dengan senang hati”. Jawab ku.
Aku segera bergegas menyimpan kitab dalam rentetan rak dipenuhi koleksi kitab kuning. Setelahnya aku bersiap-siap karena ingin berolahraga. “Uni, ayo cepat, jangan lama-lama” sahut bibi dari ujung kobong 2. “yaaa Bi” jawabku. Hari ini adalah hari Jum’at, rutinitas pesantren terjeda namun hanya beberapa saat, tapi setidaknya sebuah waktu istirahat dan waktu luang bagi kami meski hanya setengah hari.
Lalu kami dalam perjalanan dengan langkah kecil melepas pandangan disekitar dan sedikit bercakap serta bersanda gurau. Kiranya dengan berolahraga sedikitnya bisa mereplace sekelumit kejenuhan dalam benakku. Dengan langkah kecil, berlari beriringan.
Multitasking, yah disamping sedang berlari kecil namun hatiku sempat berkontemplasi.Banyak sekali pertanyaan yang ingin ku adukan bagaimana ia menghadapi masalah yang datang dalam medan perantauan ini, namun tanyaku terjawab bukan dengan bahasa lisan namun tanyaku terjawab dari bahasa nonverbalnya yang ia hadirkan. Kau tahu? Dengan ketawadhuan hatinya ia rela dianggap sebelah mata tatkala santriyah yang lain iri terhadapnya. Suatu ketika kendali arah maju mundurnya pondok ini adalah ‘driver’ ada ditangannya, namun memang kompetesi kekuasaan dipondok kami memang sangat kental. Bayangkan saja hendaknya ia yang mendapat apresiasi dari dewan pimpinan , namun ada sebagian santriyah yang ingin dipandang baik maka dirinya tersisihkan.
“bi, banyak tanyaku, mengenai hati yang terlalu sensi, tentang timbal balik dan tentang dedikasi yang tak dianggap?” tanyaku sambal memandang tajam bola matanya.
Aku sempat tersenyum kala pandangku meletot dan berbicara sumringah lantas respon bibi balik menertawakanku, karena mungkin tanyaku amat serius.
Sambil menunggu jawaban atas tanyaku sedikit menghela napas panjang. “Kau tahu, bedanya sebuah danau dan sebuah gelas ?” tanya bibi.
Tanpa menunggu jawabanku, Bibi lalu melanjutkan pembicaraannya,
”Sambil kau menggenggam garam dan kau taburkan garam itu dalam kedua tempat tadi, manakah dari kedua tempat itu yang akan cepat terasa asin? Jelas pada saaat kau menaburkan pada ruang yang kecil yaitu sebuah gelas. Yah seperti itu lah kadang hati harus seluas danau, ketika banyak hal yang tak sesuai kenyataan, tentang rasa sakit yang dihadapi, tentang stimulus yang tak direspon, tentang ketidakdianggapan eksistensi."
Hidup ini terlalu sakit dan melelahkan jika kita menaburkan garam pada sebuah gelas kecil, asin rasanya begitupun pada hati akan terasa sangat menyakitkan. Bayangkan jika rasa sakit itu kau tempatkan pada sebuah danau yang luas, bahagiamu tak kan terbatas, dapat menjadi sesorang yang tak kenal rasa sakit dan akan focus pada diri sendiri. Karena hidup tentang sebuah bahagia tanpa larangan orang lain”.
Jawaban yang membuatku berada dalam titik terendah, begitu sempit pikirku memandang rasa sakit hati yang tak berujung. Hatiku tak seluas danau. Tak punya filter kendali. Semua sakitku, ku tuangkan dalam gelas, jelas terasa.
Tak terasa sudah dua jam kami berjalan kecil, hingga berbalik arah menuju pondok kembali.
Aku langsung merenung tentang bekal nasihat bagiku dari bahasa yang mengena pada hati. Ternyata memang bahgaiaku dalam kendali orang lian. Selalu ku ambil hati tentang segala hal hingga kecewa didapat. Aku sangat bahagia, meski tak banyak ilmu yang ku dapat di pondok ini, namun diriku lebih bersyukur telah mengenal santriyah yang memberikan semantic paradigm hidupku untuk lebih baik. Aku sempat berbangga lewat pondok penjara suci ini, terdapat mutiara terdalam yang memberikan dan memancarkan kecantikan hati, Bi Lela. Kau berikan kado terindah tentang Danau hati dalam penjara suci ini.
--
Karya: Yuni Heryanti