Jika kebetulan Anda sedang berada di Palu dan ingin menyaksikan kehidupan masyarakat Sulawesi Tengah (Sulteng) tempo doeloe, Anda harus singgah di Museum Negeri Palu. Halaman museum ini luas dan asri. Di antara bentangan rumput hijau, ada dua patung batu tiruan (megalitik) berdiri kokoh. Patung aslinya didatangkan dari Napu (Poso) yang disimpan di belakang gedung museum ini.
Ruang pamer pertama museum terletak di bagian depan. Dari depan pintu masuk, pandangan mata akan bersirobok dengan tiang utama yang tegak berdiri tepat di tengah lorong. Tiang kayu berukir ini menyita perhatian sebab di bagian tengahnya dipajang satu kepala kerbau berukuran cukup besar, menuruti rumah adat suku Lobo. Sama seperti suku Toraja, kerbau juga menjadi simbol kemakmuran dan gengsi untuk warga Suku Lobo.
Selain itu, dinding kiri dan kanan dihiasi berbagai lukisan yang menggambarkan aktivitas tradisi masyarakat sejumlah suku yang menghuni Sulteng. Dari sini, kita dapat memasuki ruang pameran. Ruangnya luas, bersih, dan rapi dengan penataan yang cukup profesional. Pencahayaan pun memadai. Di museum ini tersimpan karya master piece (koleksi unggulan), yakni taiganja (perhiasan tradisional berusia ratusan tahun).
Meskipun begitu, bukan berarti koleksi yang lain terabaikan atau tidak bermutu. Dalam ruangan pameran tadi dapat disaksikan berbagai peralatan tumbuk padi (lesung) yang bulat atau panjang, peralatan makan dan minum yang semua terbuat dari kayu seperti sompe (tempat membuat sagu), kandean (dulang), dolong-dolong (tempat sayur), dan sendok. Ada juga beberapa potong pakaian yang terbuat dari kulit kayu, berbagai senjata tajam tradisional seperti guma (sejenis mandau milik orang Dayak) serta sejumlah alat musik tradisional. Dipamerkan pula miniatur rumah-rumah adat suku besar di Sulteng seperti Labo, Tambi, Palwa, dan Gampiri (lumbung padi milik etnis Kaili, etnis terbesar di Palu dan sekitarnya).
Museum Negeri Palu Sulawesi Tengah ini juga mengoleksi tradisi masyarakat yang kemudian dilakonkan dalam bentuk patung dan lukisan. Misalnya, upacara Novasaviraka, yakni upacara selamatan bayi yang dilaksanakan pada hari ke-14 setelah bayi itu lahir. Ada juga upacara Mopo Tompo, yakni upacara pencabutan gigi atas dan bawah (bagian depan) sebanyak 12 buah terhadap anak gadis Suku Kulawi yang memasuki usia akil balig. Upacara ini mulai punah sejak Belanda memasuki Sulteng pada 1905.