GUEBANGET - Buat kamu yang bercita-cita ingin menjadi dokter, ternyata dokter itu punya etika kedokteran lho dan menjungjung tinggi integritas (kejujuran). Menurut pemberitaan di sosial media, etika kedokteran masih dipermasalahkan buat dokter-dokter yang menangani Setya Novanto (Setnov).
Kenapa? Etika kedokteran yang implisit dalam ucapan dr. Bimanesh, dr. Priyo, dan dr. Rani (dokter yang menangani Setya Novanto) dinilai memicu tanda tanya besar mengenai kesehatan Setnov. Etika tersebut dapat ditelusuri mulai dari era Yunani Kuno. Dalam terminologi medis, dikenal sumpah Hipokrates.
Isi sumpah Hipokrates adalah ikrar menyembuhkan pasien sesuai kemampuan terbaik dokter, menjaga privasi pasien, serta meneruskan ajaran-ajaran terkait kesehatan kepada generasi penerus. Versi modern sumpah Hipokrates juga memuat tentang sumpah dokter untuk mengakui keterbatasan pengetahuannya, dan karena keterbatasan pengetahuan tersebut, ia berkewajiban untuk merujuk pasien ke dokter yang memiliki spesialisasi terkait penyakitnya.
Hal inilah yang bisa mendorong dr. Bimanesh untuk tidak sembarang membuat pernyataan seputar kesehatan Novanto yang malah diinterpretasikan sebagian orang sebagai upaya melindungi Novanto.
Kejujuran juga menjadi landasan dalam etika kedokteran. Pada dasarnya, dokter dituntut untuk transparan terhadap pasien dalam menerangkan kondisi kesehatannya. Akan tetapi, kejujuran tidak hanya terbatas untuk konteks relasi dokter-pasien saja. Kapasitasnya sebagai seorang profesional dapat beririsan dengan keperluan penegakan hukum. Dalam rangka penyelesaian kasus, siapa pun yang dianggap sebagai ahli dituntut untuk jujur dalam memberikan keterangan.
Hal ini menjadi problematis bila pasien malah menginginkan dokter membuat pernyataan yang tak sesuai kondisi aslinya. Ada kasus-kasus di mana pasien memanipulasi keluhan medisnya kepada dokter.
Dalam jurnal bertajuk “Lies in the Doctor-Patient Relationship”, Palmieri dan Stern (2009) menuliskan sejumlah motif pasien mengelabui dokter, di antaranya menghindari hukuman, memenuhi keinginan-keinginan pribadi, memanipulasi pihak lain, memompa penilaian diri, dan menyelesaikan konflik peran. Tentunya dokter yang baik tidak serta merta meyakini segala pengakuan pasien. Pemeriksaan lebih lanjut akan dilakukannya untuk mengecek sinkron tidaknya perkataan pasien dengan kondisi asli kesehatannya.
Masih dari jurnal yang sama, Palmieri dan Stern menyatakan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu, niat baik dokter untuk mengungkapkan hasil pemeriksaan sejujur-jujurnya bisa bertabrakan dengan otonomi pasien.
Lalu, bagaimana bila dokter menyatakan pasien sudah tidak bermasalah kesehatannya dan bisa beraktivitas normal, tetapi pasien menginginkan rehat lebih lama? Konflik internal bisa terjadi dalam diri dokter dalam kondisi seperti itu, apalagi bila ditemukan pasien yang bermasalah secara hukum.
Mengenai upaya mengelabui dokter atau orang sekitar, ada terminologi factitious disorder dalam ranah psikologi. Hal ini merujuk kepada kondisi ketika seseorang dengan sengaja bertingkah seperti orang sakit fisik atau mental, padahal kenyataannya sebaliknya.
Dalam WebMD tercantum, orang dengan factitious disorder bisa berbohong soal kesehatannya, melukai diri sendiri untuk mendatangkan gejala, atau mengganti hasil tes kesehatan supaya terlihat sakit. Ada beberapa tanda-tanda seseorang mengalami factitios disorder: punya rekam medis “dramatis” tetapi tidak konsisten, memunculkan gejala-gejala baru begitu hasil tes sebelumnya menunjukkan negatif terserang penyakit, berkali-kali mendatangi rumah sakit, atau bersikeras untuk diperiksa atau menjalani prosedur medis lainnya.
Sekilas, gejala ini tampak serupa dengan hipokondria. Namun yang membedakannya, hipokondria merupakan bentuk kecemasan dan bukan upaya sengaja yang dilakukan untuk menghindari sesuatu atau menggali keuntungan sebanyak-banyaknya. Menurut studi, kecemasan berlebihan para pengidap hipokondria bisa saja memicu penyakit sungguhan. Misalnya sakit jantung, dapat dipicu oleh produksi kortisol berlebihan yang terjadi saat stress.
Jadi, sebaiknya apabila kita menjadi pasien, jangan coba-coba untuk mempermainkan kondisi kesehatan kita. Karena suatu saat kita bisa secara seketika dipermainkan dengan kondisi kesehatan kita. Kalau udah sembuh ya sembuh, kalau belum segera diobati dengan penanganan terbaik dari dokter.